Jakarta - Heboh temuan GP Ansor terkait muatan radikalisme dalam Buku TK berujung pada desakan Ketua PBNU Bidang Pengkaderan, Nusron Wahid, agar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menarik semua buku pelajaran anak Taman Kanak-kanak (TK) bermuatan penyebaran paham radikal.
Dalam buku yang ditemukan oleh GP Ansor di Depok, Jawa Barat, berisi kata-kata yang dinilai tidak pas, di antaranya "gelora hati ke Saudi", "bom", "sahid di medan jihad", dan "selesai raih bantai Kiai". Kemudian ada juga kalimat dan kata-kata "rela mati bela agama", "gegana ada di mana", "bila agama kita dihina kita tiada rela", "basoka dibawa lari", dan "kenapa fobi pada agama". Buku berbau unsur radikalisme itu dikemas dalam bentuk metode belajar membaca praktis berjudul "Anak Islam Suka Membaca".
Di dalam buku tersebut terdapat 32 kalimat yang mengarahkan kepada tindakan radikalisme. Buku tersebut dicetak pertama pada 1999 sudah dicetak ulang 167 kali hingga 2015. Penerbit buku "Anak Islam Suka Membaca" itu adalah Pustaka Amanah, beralamat Jalan Cakra Nomor 30 Kauman, Solo, Jawa Tengah, dengan penulis Murani Musta'in.
Infiltrasi Radikalisme di Sekolah
Kasus infiltrasi muatan radikalisme masuk di dunia pendidikan bukan barang baru. Awal Maret 2015, jagat nasional juga dihebohkan terbitnya buku Buku Pendidikan Agama Islam (PAI) kelas XI SMA di Jombang berisi pemahaman yang bermuatan radikalisme. Buku tersebut menampilkan pandangan tokoh radikal dan tanpa penjelasan yang kritis, sehingga rentan diimitasi oleh peserta didik.
Selanjutnya, survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) tahun 2011, yang melibatkan responden 590 guru PAI, meliputi 327 guru PAI SMP dan 263 guru PAI SMAdi Jabodetabek ditemukan bahwa tingkat pengenalan atas organisasi radikal, guru PAI 66,4%, tingkat kesetujuan atas organisasi radikal guru PAI 23,6%, tingkat pengenalan pada tokoh radikal guru PAI 59,2%, tingkat kesetujuan kepada tokoh radikal guru PAI 23,8%.
Penelitian LSM Lazuardi Biru tahun 2011 juga memotret kerentanan radikalisme di 33 Provinsi dengan jumlah responden sebanyak 4.840. Dari 33 provinsi, terdapat tiga daerah yang paling rentan atau rawan tindakan radikalisme yaitu Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Jawa Barat dan Banten. Selanjutnya, peneliti dari IAIN Cirebon dengan judul "Fundamentalisme di Lembaga Pendidikan: Studi Kasus Rohani Islam SMA di Kota Cirebon". Penelitian ini menemukan fakta adanya kecenderungan pemahaman, aktivitas dan penyebaran pemikiran radikal di lingkungan aktivitas dakwah SMA.
Beragam hasil penelitian tersebut menunjukkan betapa sekolah kita rentan dengan infiltrasi paham radikalisme atas nama agama. Hal ini bukan bermaksud menggeneralisasi masalah, namun data tersebut dapat menjadi warning bagi kita semua, termasuk penyelenggara negara dan lembaga pendidikan.
Apa sesungguhnya radikalisme itu? Secara konseptual, radikalisme sering disebut tatarruf, artinya tidak ada keseimbangan karena tindakan melebih-lebihkan atau mengurangi. Tatarruf, atau sikap keras adalah sikap ekstrem, baik dengan melakukan tindakan berlebihan, kekerasan ataupun meremehkan.
Radikalisme keagamaan merupakan gerakan keagamaan yang berusaha merubah secara keseluruhan tatanan yang ada (politis, sosial, ekonomi) dengan pendekatan kekerasan. Oleh sebagian kalangan, radikalisme lebih dikenal dengan sebutan "kelompok agama garis keras". Pandangan demikian perlu diluruskan karena "yang keras itu bukan hakikat agama", melainkan "pemahaman atau sikap pemeluknya".
Radikalisme dengan istilah paham garis keras dikenal juga dengan sebutan fanatik dan ada pula yang menamakannya ekstremitas keagamaan (al-Tatarruf ai-diniy). John L Eposito dalam bukunya, "Islam: The Straight Path", menggunakan istilah Islam revivalis untuk menunjukkan Islam radikal. Sementara Amstrong, dalam buku "The Batle for God", menyatakan bahwa semua agama selalu terdapat potensi munculnya kelompok-kelompok militan, ekstrem dan radikal.
Detik.com
0 comments:
Posting Komentar