
Menurut May Yen, pelaporan itu dilakukan karena Lukman merupakan IKON perusahaan sosialnya. Dan May Yen sendiri tidak mau perusahaan sosial Masteroxy miliknya menjadi hancur dan terseret di dalam pusaraan kasus dugaan korupsinya lukman. Berdasarkan pengakuan dari saksi-saksi dan bukti, solar tersebut disuplai seseorang melalui Lukman yang saat itu menjabat sebagai KADIV GTD MKP di Perhutani.
“Nama penyuplai, saksi-saksi dan pihak terkait sudah kami
serahkan ke KPK,” jelas May Yen dalam
siaran tertulisnya yang di terima Media ini, Senin (22/8/2016).
Sebelum melakukan pelaporan May Yen menjelaskan ,di
bulan December 2015, saat itu dia pernah dengar Pak Lukman Imam Syafii Korupsi
Solar tetapi pada saat itu belum detail
karena saksi yang kebetulan kenal denganya puluhan tahun itu bercerita sedikit dan berpesan untuk
berhati hati bekerjasama dengan Pak Lukman Imam Syafii.dan ahirnya ia
memberanikan diri untuk bertanya pada yang bersangkutan terkait benar atau
tidaknya melakukan korupsi solar ,
“Tetapi ketika saya tanyakan (Red) Lukman Imam Syafii
mengatakan tidak perlu saya jawab, bukan urusanmu.”jelasnya.
Tidak hanya berhinti disitu ,May Yen mencoba
menanyakan lagi kebenaran berita dugaan Korupsi Solar tersebut awal January
2016 yang lalu tepatnya di Rumah Dinas tetapi tidak ditanggapi dan Lukman marah
dan bilang sekarang dia lagi batuk karena stress atas pertanyan saya.Kemudian 2
Minggu Lukman tidak ngantor,kabarnya Lukman terkena sakit batuk parah.
“Sekitar 8 february 2016 , Saksi bertemu di rumah saya untuk beli air, saya minta cerita yang sebenarnya tentang pak Lukman dan saya jelaskan saya sangat membutuhkan data itu karena pak Lukman IKON perusahaan sosial saya . Saya tidak mau perusahaan sosial Masteroxy menjadi hancur dan terseret kasusnya dia .ungkapnya.
Kata saksi lanjut May Yen, saksi Solar tersebut
bermasalah dan membawa dampak kerusakan mesin-mesin Perhutani GTD MKP di Jawa
Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat, sampai harus di pasang alat filter tambahan
dan itu pun sudah terlanjur merusakkan mesin-mesin Perhutani (dan biaya
kerusakan mesin juga sangat tinggi ratusan juta per bulan) padahal permintaan untuk mengganti ke solar
Pertamina sudah sering dilontarkan ke Bapak Lukman sebagai Kadiv GTD MKP .
Saksi juga menyatakan ketika mengunjungi pabrik
Solar tersebut terkejut tentang keadaan yang sebenarnya “kok begini dengan nada menyesal”.urainya.
Akhirnya Saksi bercerita bahwa dia perantara
Suplier Solar inisial Y (Semarang), Y mengambil di pabrik Tangerang (bukan
Pertamina) ke Perhutani masuk lewat Pak Lukman saat itu Kadiv GTD MKP
Perhutani.
Saksi tersebut juga menjelaskan bahwa untuk masuk
ke Perhutani maka harus dirapatkan dan pemegang keputusannya Pak Lukman maka
Suplier serta Saksi setuju harga yang disepakati dinaikkan dulu yang dibayar
Perhutani yang penting lebih murah dari pasaran Pertamina sedikit kemudian
barulah dikembalikan seilisihnya ke Pak Lukman.
Di jelaskan Saksi ,jika sekian ratus rupiah dikalikan
500.000 liter per bulan Perhutani seluruh Jawa maka komisi Pak Lukman
sangatlah besar.Tapi bukan hanya korupsinya saja yang merugikan Perhutani melainkan
Solar yang bukan Pertamina ini menimbulkan kerugian sangat besar untuk negara
kata saksi.
Saksi juga mengatakan menjelang pensiun 1 Mei 2016
Pak Lukman Imam Syafii sudah membuat surat edaran baru yang memerintahkan untuk
kembali ke Solar Pertamina dan surat edaran yang lama dihapus alias
dihilangkan.Alasannya Pak Lukman ingin tidak diotak atik dulu setelah pensiun
dan dia menjanjikan kerjasama kembali ke Y dan Saksi setelah jadi BOD.
“Saat ini Lukman Imam Syafii ( Kadiv Perhutani GTD
MKP ) dan Anggar Widiatmoko (Manajer Perhutani GTD MKP ) juga sudah saya
laporkan atas beberapa tindak pidana yang lain.Hal yang saya sampaikan adalah
hal yang sebenarnya dengan semua bukti, saksi dan bukti pendukung lainnya yang
sudah saya serahkan ke KPK secara langsung .Saya berharap KPK dan Kementerian
BUMN segera menindakanjuti dan menguak
kasus ini secepatnya agar Indonesia bersih dari Koruptor dan pejabat yang
sewenang-wenang”pungksnya.*(SJP01)
0 comments:
Posting Komentar